loading...
Ulama adalah panutan. Apa yang diucapkan ulama adalah gambaran dari sebuah kebenaran. Mengapa? Karena ulama adalah “pewaris para nabi”. Kalau setiap yang dikatakan ulama merupakan pegangan untuk umat, maka perkatakan (fatwa) itu hendaknya konsisten. Bagaimana jadinya jika ulama tidak bisa menunjukkan konsistensinya? Umat akan bingung.
Bisa jadi, saya merupakan satu dari banyak lagi umat yang dibingungkan dengan inkonsistensi ulama. Pada satu waktu, ulama anu mengatakan A. Di lain waktu dan kesempatan, juga melihat kondisi terkini, fatwa ulama anu berubah jadi B, beradaptasi dengan kepentingan. Sebagai awam, saya harus berpegang kepada fatwa yang mana? Yang lama atau yang terbaru? Kalau yang terbaru, apakah fatwa punya rentang kadaluarsanya? Ini semakin membingungkan bukan?
Tahun 2012. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa boleh memilih pemimpin dari kalangan non-muslim, jika sudah teruji. Kata ketua MUI saat itu, “Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih peminpin yang non-muslim.” Fatwa ini jelas, tidak perlu ditafsirkan macam-macam lagi. Apalagi bawa-bawa Al-Maidah ayat 51.
Tahun 2015. MUI memberikan fatwa khusus untuk warga Jakarta bahwa wajib hukumnya memilih pemimpin muslim. Ketua MUI mengatakan bahwa sudah saatnya umat Islam khususnya warga Jakarta menggantikan Gubernur DKI Jakarta yang sekarang. Ke depan tidak ada lagi Gubernur DKI Jakarta yang non-muslim.
Konsistensi MUI sungguh sangat disesalkan. Mengapa MUI bisa merevisi fatwa seenaknya? Apakah MUI sudah mulai terlibat dengan politik praktis? Rasulullah saw, setahu saya, selalu mengajarkan istiqomah dalam bersikap. Sekali mengatakan A, yah A. Jangan plin-plan atau buat “standar ganda” dalam bersikap.
Jangan buat umat menduga yang tidak-tidak tentang ulama. Umat sangat menghormati ulama. Dan lembaga ulama, kami yakini sebagai sesuatu yang sakral dan punya wibawa yang tinggi. Jangan sampai kesakralan lembaga ini ternoda dan menjadi bahan cibiran umat.
Tahun 2013. MUI pernah mengeluarkan fatwa haram mengadakan kegiatan keagamaan yang menutup jalan dan menganggu ketertiban. Tiga tahun setelahnya, juga masih dalam rangka menyukseskan fatwa tentang “haram memimilih pemimpin non-muslim”, MUI mengeluarkan fatwa yang berseberangan dengan fatwa sebelumnya. MUI mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya shalat jumat di jalan.
Semua gara-gara Ahok! Sepertinya, ini yang menjadi alasan mengapa MUI sedang rajin-rajinnya bersikap “tebang pilih” dalam mengeluarkan statemen. Kalau fatwa MUI dikeluarkan untuk kepentingan umat tentu konsistensi harus dijaga MUI. Tapi, kalau fatwa-fatwa tersebut dikeluarkan demi kepentingan titik-titik, hasilnya kita lihat sendiri. Kredibelitas MUI sebagai lembaga pembuat “fatwa” harus mendapat banyak cibiran dan kecaman dari masyarakat.
Saya yakin MUI takkan pernah peduli dengan suara miring di bawah sana. Itu takkan mempengaruhi lembaganya. Itu takkan membuat MUI dibekukan layaknya PSSI. Tapi bukan itu masalahnya. MUI ini lembaga spiritual. Yang mengurus berbagai hal terkait kemaslahatan umat. Beban morilnya justru lebih berat. Sebab, tanggung jawabnya tidak hanya kepada umat tapi juga nanti di akhirat.
Baru-baru ini. Bendahara MUI, Fahmi Darmawansyah ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT). Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin mengatakan bahwa penetapan tersangka Fahmi terkesan terburu-buru. Oleh karenanya, MUI hendak melakukan tabayyun dalam kasus ini.
Jelas-jelas itu operasi tangkap tangan. Ada barang bukti yang menunjukkan bahwa bendahara MUI ini benar-benar melakukan suap. Mengapa MUI mengatakan ini terburu-buru? Malah hendak melakukan tabayyun atas tindakan kriminal yang sudah terang benderang ini? Apakah MUI takut citranya akan rusak? Apakah MUI mau melindungi tersangka disebabkan ia adalah bendahara MUI?
Yang terbaru juga adalah berkaitan dengan kasus dugaan penistaan agama oleh Habib Rizieq. Apa yang Rizieq sampaikan sudah jelas dan terang benderang menghina agama Kristen. Tapi apa sikap MUI? Ketua MUI mengatakan, “Persisnya belum tahu saya, karena saya belum dengar kasetnya, jadi belum bisa mengatakan. Soal materi ceramahnya itu, akan kita lihat dulu, sebab bisa saja itu kan menjelaskan, bukan menista tapi menjelaskan.”
Apanya yang menjelaskan? Habib Rizieq mengatakan, “Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?” Kalimat seperti itu menjelaskan apa? Apakah Rizieq lebih tahu tentang iman umat Kristiani? Bukankah mereka mereka (MUI, FPI dan yang secingkrangan dengannya) ngamuk saat Ahok cuma mengutip Al-Maidah ayat 51? Rizieq jauh melebihi itu dengan menghina konsep ketuhanan umat Kristen.
Apa yang dijelaskan oleh Rizieq? Penyampaiannya hanya mengundang gelak tawa bukan pemahaman. Tidak ada ilmu yang bisa diperoleh disana, kalau itu dikatakan menjelaskan.
MUI selalu punya sikap yang lembek kepada yang secingkrangan dengan mereka. Tapi untuk Ahok, sikap yang diberikan adalah yang sekeras-kerasnya. Keluarkan fatwa tentang Ahok tanpa tabayyun, padahal tabayyun adalah anjuran agama. Mendesak polisi untuk menahan Ahok. Juga, memastikan ke publik bahwa Ahok pasti dipenjara.
Kata apalagi yang bisa saya pakai selain kata “sableng” untuk menggambarkan lembaga fatwa ini. Keberpihan MUI jelas-jelas terlihat. Tebang pilihnya MUI sudah bisa dipastikan. Standar ganda MUI tak terelakkan lagi.
Pertanyaannya adalah: Apakah MUI masih bisa dijadikan rujukan umat (Islam) dalam menentukan sikap terhadap berbagai macam problematika kehidupan? Soalnya saya ragu.
Saya rasa, begitulah kura-kura.
Bisa jadi, saya merupakan satu dari banyak lagi umat yang dibingungkan dengan inkonsistensi ulama. Pada satu waktu, ulama anu mengatakan A. Di lain waktu dan kesempatan, juga melihat kondisi terkini, fatwa ulama anu berubah jadi B, beradaptasi dengan kepentingan. Sebagai awam, saya harus berpegang kepada fatwa yang mana? Yang lama atau yang terbaru? Kalau yang terbaru, apakah fatwa punya rentang kadaluarsanya? Ini semakin membingungkan bukan?
Tahun 2012. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa boleh memilih pemimpin dari kalangan non-muslim, jika sudah teruji. Kata ketua MUI saat itu, “Jika memang sudah teruji adil, maka boleh memilih peminpin yang non-muslim.” Fatwa ini jelas, tidak perlu ditafsirkan macam-macam lagi. Apalagi bawa-bawa Al-Maidah ayat 51.
Tahun 2015. MUI memberikan fatwa khusus untuk warga Jakarta bahwa wajib hukumnya memilih pemimpin muslim. Ketua MUI mengatakan bahwa sudah saatnya umat Islam khususnya warga Jakarta menggantikan Gubernur DKI Jakarta yang sekarang. Ke depan tidak ada lagi Gubernur DKI Jakarta yang non-muslim.
Konsistensi MUI sungguh sangat disesalkan. Mengapa MUI bisa merevisi fatwa seenaknya? Apakah MUI sudah mulai terlibat dengan politik praktis? Rasulullah saw, setahu saya, selalu mengajarkan istiqomah dalam bersikap. Sekali mengatakan A, yah A. Jangan plin-plan atau buat “standar ganda” dalam bersikap.
Jangan buat umat menduga yang tidak-tidak tentang ulama. Umat sangat menghormati ulama. Dan lembaga ulama, kami yakini sebagai sesuatu yang sakral dan punya wibawa yang tinggi. Jangan sampai kesakralan lembaga ini ternoda dan menjadi bahan cibiran umat.
Tahun 2013. MUI pernah mengeluarkan fatwa haram mengadakan kegiatan keagamaan yang menutup jalan dan menganggu ketertiban. Tiga tahun setelahnya, juga masih dalam rangka menyukseskan fatwa tentang “haram memimilih pemimpin non-muslim”, MUI mengeluarkan fatwa yang berseberangan dengan fatwa sebelumnya. MUI mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya shalat jumat di jalan.
Semua gara-gara Ahok! Sepertinya, ini yang menjadi alasan mengapa MUI sedang rajin-rajinnya bersikap “tebang pilih” dalam mengeluarkan statemen. Kalau fatwa MUI dikeluarkan untuk kepentingan umat tentu konsistensi harus dijaga MUI. Tapi, kalau fatwa-fatwa tersebut dikeluarkan demi kepentingan titik-titik, hasilnya kita lihat sendiri. Kredibelitas MUI sebagai lembaga pembuat “fatwa” harus mendapat banyak cibiran dan kecaman dari masyarakat.
Saya yakin MUI takkan pernah peduli dengan suara miring di bawah sana. Itu takkan mempengaruhi lembaganya. Itu takkan membuat MUI dibekukan layaknya PSSI. Tapi bukan itu masalahnya. MUI ini lembaga spiritual. Yang mengurus berbagai hal terkait kemaslahatan umat. Beban morilnya justru lebih berat. Sebab, tanggung jawabnya tidak hanya kepada umat tapi juga nanti di akhirat.
Baru-baru ini. Bendahara MUI, Fahmi Darmawansyah ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT). Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin mengatakan bahwa penetapan tersangka Fahmi terkesan terburu-buru. Oleh karenanya, MUI hendak melakukan tabayyun dalam kasus ini.
Jelas-jelas itu operasi tangkap tangan. Ada barang bukti yang menunjukkan bahwa bendahara MUI ini benar-benar melakukan suap. Mengapa MUI mengatakan ini terburu-buru? Malah hendak melakukan tabayyun atas tindakan kriminal yang sudah terang benderang ini? Apakah MUI takut citranya akan rusak? Apakah MUI mau melindungi tersangka disebabkan ia adalah bendahara MUI?
Yang terbaru juga adalah berkaitan dengan kasus dugaan penistaan agama oleh Habib Rizieq. Apa yang Rizieq sampaikan sudah jelas dan terang benderang menghina agama Kristen. Tapi apa sikap MUI? Ketua MUI mengatakan, “Persisnya belum tahu saya, karena saya belum dengar kasetnya, jadi belum bisa mengatakan. Soal materi ceramahnya itu, akan kita lihat dulu, sebab bisa saja itu kan menjelaskan, bukan menista tapi menjelaskan.”
Apanya yang menjelaskan? Habib Rizieq mengatakan, “Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?” Kalimat seperti itu menjelaskan apa? Apakah Rizieq lebih tahu tentang iman umat Kristiani? Bukankah mereka mereka (MUI, FPI dan yang secingkrangan dengannya) ngamuk saat Ahok cuma mengutip Al-Maidah ayat 51? Rizieq jauh melebihi itu dengan menghina konsep ketuhanan umat Kristen.
Apa yang dijelaskan oleh Rizieq? Penyampaiannya hanya mengundang gelak tawa bukan pemahaman. Tidak ada ilmu yang bisa diperoleh disana, kalau itu dikatakan menjelaskan.
MUI selalu punya sikap yang lembek kepada yang secingkrangan dengan mereka. Tapi untuk Ahok, sikap yang diberikan adalah yang sekeras-kerasnya. Keluarkan fatwa tentang Ahok tanpa tabayyun, padahal tabayyun adalah anjuran agama. Mendesak polisi untuk menahan Ahok. Juga, memastikan ke publik bahwa Ahok pasti dipenjara.
Kata apalagi yang bisa saya pakai selain kata “sableng” untuk menggambarkan lembaga fatwa ini. Keberpihan MUI jelas-jelas terlihat. Tebang pilihnya MUI sudah bisa dipastikan. Standar ganda MUI tak terelakkan lagi.
Pertanyaannya adalah: Apakah MUI masih bisa dijadikan rujukan umat (Islam) dalam menentukan sikap terhadap berbagai macam problematika kehidupan? Soalnya saya ragu.
Saya rasa, begitulah kura-kura.
0 Response to "Ternyata MUI Buat Standar Ganda. Fakta Ini Mencengangkan!!!"
Posting Komentar