loading...
Masih ingatkah kita pada Juli 2016 silam. Saat Ahok hendak menertibkan kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Banyak pihak yang protes tentang kebijakan Ahok ini. Para aktivis kesiangan seperti Ratna Sarumpaet, anggota DPR Tantowi Yahya, beberapa anggota DPRD, sampai pengacara yang gagal melaju di Pilkada DKI Yusril Ihza Mahendra.
Saya bingung dengan para aktivis dan pahlawan kesiangan ini. Apa yang hendak mereka perjuangkan? Penertiban yang dilakukan Pemprov berdiri atas payung hukum yang jelas. Dengan masalah sosial yang jelas. Juga bahaya kesehatan yang jelas. Dan semuanya jelas untuk memperindah kota Jakarta juga memberikan jaminan hidup bagi warganya.
Tapi. Para aktivis dan pahlawan kesiangan itu justru melawan hukum hanya untuk menyerang Ahok. Mereka gunakan “penderitaan” warga untuk menyerang Ahok, untuk menghantam setiap kebijakannya atas nama kemanusiaan. Atas nama kemanusiaan, hukum dipaksa untuk tunduk. Ini kan gila namanya.
Sampai datanglah sebuah peristiwa yang membuat para aktivis dan pahlawan kesiangan ini lari tunggang langgang. Mereka yang awalnya lantang berteriak atas nama kemanusian, kini balik kanan bubar jalan saat terjadi “banjir rob” di kawasan tersebut. Katanya mereka adalah tokoh yang peduli dengan penderitaan warga disana, tapi saat datang banjir, yang dikarenakan ulah mereka dengan memperlambat proses penertiban, mereka malah tak berani memperlihatkan batang hidungnya.
Mereka sudah tak mendidik warga untuk taat aturan, juga tak mendidik warga karena lepas tangan saat terjadi masalah. Jadi jelas yah, mereka memang tidak melakukan pembelaan terhadap warta dengan niat tulus ikhlas membantu. Tapi, mereka cuma cari panggung untuk bisa melawan setiap kebijakan Ahok.
Sebenarnya, para pahlawan kesiangan itu tidak punya alasan untuk menghentikan program pemerintah mengantisipasi banjir yang datang dari darat maupun banjir dari laut. Hanya bertamengkan kemanusiaan mereka malah mengeksploitasi bencana kemanusiaan yang bakal terjadi saat musim penghujan tiba dan pasang air laut sedang tinggi-tingginya.
Lain dulu lain sekarang. Banjir tak kunjung datang, masyarakat kini senang. Memang, sebuah perubahan di Jakarta harus dilalui dengan teriakan dan air mata. Mengorbankan kepentingan sebagian warga untuk terciptanya kemaslahatan yang lebih luas itu perlu dijadikan prioritas. Dan kebijakan seperti ini tidak populer untuk Gubernur-gubernur sebelum Pakde Jokowi. Mengapa? Karena bisa bikin gaduh.
Mengapa kegaduhan sangat dihindari dulu? Karena kegaduhan dapat menciptakan iklim yang tidak sehat untuk memainkan anggaran. Justru, tidak apa-apa banjir, sebab dana bansos kan bisa turun. Belum dana-dana lainnya. Makanya, pasca banjir, kas daerah pecah. Entah kemana. Yang jelas, di balik bencana yang dialami warga, ada rejeki bagi para pejabat daerah.
Pakde Jokowi dan Ahok bukan tipe pemimpin yang ingin populer di mata warganya. Mereka berani buat kebijakan yang dapat membuat diri mereka dibenci. Karena prinsipnya bukan asal warga senang. Sebab, yang mereka jalankan adalah undang-undang.
Makanya saya heran. Saat debat Pilkada DKI. Selain Paslon 2, yang lainnya menerapkan prinsip asal warga senang. Kontrak politik pun dibangun untuk sekedar menyenangkan warga. Kontestasi Pilkada hanya dijadikan ajang untuk memenangkan Pilkada, bukan mendidik warga yang jelas-jelas salah.
Bagaimana mengatasi banjir tanpa menggusur? Selain nomor 2, yang lainnya tetap ngotot pasti bisa mengatasi banjir tanpa menggusur. Ada yang akan melukis bangunan-bangunan kumuh pinggir kali, ada yang akan mengapungkan bangunan-bangunan tersebut, ada juga yang akan menggeser bangunan-bangunan tersebut.
Padahal, kalau kita lihat undang-undang yang mengatur masalah normalisasi daerah pinggiran sungai, sangatlah mustahil untuk melukis, mengapung, atau cuma menggeser. Tapi mereka tetap ngotot, pasti bisa. Begitulah orang-orang yang haus kekuasaan. Menghalalkan segala cara hanya untuk menjatuhkan Petahana yang sudah memiliki pengalaman yang teruji dan terukur.
Kemarin. Seorang warga Pasar Ikan mengadakan syukuran dengan cara menggratiskan dagangannya bagi para langganannya. Ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukurnya terhadap kebijakan Ahok-Djarot dalam menangani masalah banjir di kawasannya.
Ia bercerita bahwa sebelum Pak Jokowi jadi Gubernur, daerah tempat ia dagang selalu jadi langganan banjir tiap tahunnya. Ia hanya bisa pasrah sambil menunggu datangnya keajaiban. Akhirnya, keajaiban itu datang dalam wujud Jokowi-Ahok. Akhirnya, banjir pun tak pernah datang lagi hingga sekarang.
Dengan syukuran ini pula, ia berharap agar Ahok-Djarot bisa kepilih lagi untuk lima tahun mendatang.
Ra(i)sa-ra(i)sanya begitulah
Saya bingung dengan para aktivis dan pahlawan kesiangan ini. Apa yang hendak mereka perjuangkan? Penertiban yang dilakukan Pemprov berdiri atas payung hukum yang jelas. Dengan masalah sosial yang jelas. Juga bahaya kesehatan yang jelas. Dan semuanya jelas untuk memperindah kota Jakarta juga memberikan jaminan hidup bagi warganya.
Tapi. Para aktivis dan pahlawan kesiangan itu justru melawan hukum hanya untuk menyerang Ahok. Mereka gunakan “penderitaan” warga untuk menyerang Ahok, untuk menghantam setiap kebijakannya atas nama kemanusiaan. Atas nama kemanusiaan, hukum dipaksa untuk tunduk. Ini kan gila namanya.
Sampai datanglah sebuah peristiwa yang membuat para aktivis dan pahlawan kesiangan ini lari tunggang langgang. Mereka yang awalnya lantang berteriak atas nama kemanusian, kini balik kanan bubar jalan saat terjadi “banjir rob” di kawasan tersebut. Katanya mereka adalah tokoh yang peduli dengan penderitaan warga disana, tapi saat datang banjir, yang dikarenakan ulah mereka dengan memperlambat proses penertiban, mereka malah tak berani memperlihatkan batang hidungnya.
Mereka sudah tak mendidik warga untuk taat aturan, juga tak mendidik warga karena lepas tangan saat terjadi masalah. Jadi jelas yah, mereka memang tidak melakukan pembelaan terhadap warta dengan niat tulus ikhlas membantu. Tapi, mereka cuma cari panggung untuk bisa melawan setiap kebijakan Ahok.
Sebenarnya, para pahlawan kesiangan itu tidak punya alasan untuk menghentikan program pemerintah mengantisipasi banjir yang datang dari darat maupun banjir dari laut. Hanya bertamengkan kemanusiaan mereka malah mengeksploitasi bencana kemanusiaan yang bakal terjadi saat musim penghujan tiba dan pasang air laut sedang tinggi-tingginya.
Lain dulu lain sekarang. Banjir tak kunjung datang, masyarakat kini senang. Memang, sebuah perubahan di Jakarta harus dilalui dengan teriakan dan air mata. Mengorbankan kepentingan sebagian warga untuk terciptanya kemaslahatan yang lebih luas itu perlu dijadikan prioritas. Dan kebijakan seperti ini tidak populer untuk Gubernur-gubernur sebelum Pakde Jokowi. Mengapa? Karena bisa bikin gaduh.
Mengapa kegaduhan sangat dihindari dulu? Karena kegaduhan dapat menciptakan iklim yang tidak sehat untuk memainkan anggaran. Justru, tidak apa-apa banjir, sebab dana bansos kan bisa turun. Belum dana-dana lainnya. Makanya, pasca banjir, kas daerah pecah. Entah kemana. Yang jelas, di balik bencana yang dialami warga, ada rejeki bagi para pejabat daerah.
Pakde Jokowi dan Ahok bukan tipe pemimpin yang ingin populer di mata warganya. Mereka berani buat kebijakan yang dapat membuat diri mereka dibenci. Karena prinsipnya bukan asal warga senang. Sebab, yang mereka jalankan adalah undang-undang.
Makanya saya heran. Saat debat Pilkada DKI. Selain Paslon 2, yang lainnya menerapkan prinsip asal warga senang. Kontrak politik pun dibangun untuk sekedar menyenangkan warga. Kontestasi Pilkada hanya dijadikan ajang untuk memenangkan Pilkada, bukan mendidik warga yang jelas-jelas salah.
Bagaimana mengatasi banjir tanpa menggusur? Selain nomor 2, yang lainnya tetap ngotot pasti bisa mengatasi banjir tanpa menggusur. Ada yang akan melukis bangunan-bangunan kumuh pinggir kali, ada yang akan mengapungkan bangunan-bangunan tersebut, ada juga yang akan menggeser bangunan-bangunan tersebut.
Padahal, kalau kita lihat undang-undang yang mengatur masalah normalisasi daerah pinggiran sungai, sangatlah mustahil untuk melukis, mengapung, atau cuma menggeser. Tapi mereka tetap ngotot, pasti bisa. Begitulah orang-orang yang haus kekuasaan. Menghalalkan segala cara hanya untuk menjatuhkan Petahana yang sudah memiliki pengalaman yang teruji dan terukur.
Kemarin. Seorang warga Pasar Ikan mengadakan syukuran dengan cara menggratiskan dagangannya bagi para langganannya. Ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukurnya terhadap kebijakan Ahok-Djarot dalam menangani masalah banjir di kawasannya.
Ia bercerita bahwa sebelum Pak Jokowi jadi Gubernur, daerah tempat ia dagang selalu jadi langganan banjir tiap tahunnya. Ia hanya bisa pasrah sambil menunggu datangnya keajaiban. Akhirnya, keajaiban itu datang dalam wujud Jokowi-Ahok. Akhirnya, banjir pun tak pernah datang lagi hingga sekarang.
Dengan syukuran ini pula, ia berharap agar Ahok-Djarot bisa kepilih lagi untuk lima tahun mendatang.
Ra(i)sa-ra(i)sanya begitulah
0 Response to "Bersyukur Atas Prestasi Ahok!!! Dulu Protes Ahok Tertibkan Pasar Ikan, Kini Penjual Warteg Syukuran Banjir Tak Datang"
Posting Komentar