loading...
Posisi kalah tak menjadikan AHY tidak lagi penting di perhelatan Pilgub DKI yang terus berlanjut. Justru kini dia menjadi Lelaki Politis yang seksi dimata kedua mantan kompetitornya berikut para pendukung mereka. Seorang AHY punya amunisi sisa yang ditunggu-tunggu kedua mantan kompetitornya. Akan diberikan kemana, sementara 'perang' masih berlanjut?
Sudah banyak analisis dan prediksi politik dibuat kalangan politik maupun awam terkait arah dukungan AHY terhadap kedua mantan Kompetitornya yang lanjut bersaing di putaran kedua Pilgub DKI.
Semua analisis dan prediksi yang tersebar didominansi hitung-hitungan politik oleh pengamat. AHY ditempatkan sebagai obyek pengamatan. Ruang AHY adalah ruang kaca pengamatan banyak pihak.
Mereka tidak masuk ke ruang itu secara total, melainkan cukup berada di tepi luar ruang dengan mata membelalak dan berbekal ragam dalil matematika politik dan sosio politik yang rigit. Para pengamat itu adalah kaum positivistik, yang setiap mengeluarkan analisis didahului landasan dugaan, hipotesa, teori dan mazhab berpikirnya sendiri. Cara mereka melihat AHY berbekal tendensi-tendensi 'pribadi', bukan apa yang ada di dalam diri AHY. Bahkan ini pun dilakukan oleh orang-orang di lingkaran dekat AHY.
Namun pernahkan mereka coba 'mengetahui' dan 'memahami' apa yang ada di ruang pikiran AHY yang 'terlanjur ditakdirkan' memiliki sejumlah label yang lekat di dirinya? Dia sebagai mantan perwira TNI, sebagai seorang anak politikus, dan dia kini sebagai seorang pelaku politik yang mandiri.
Artikel ini mencoba melihat AHY dari sisi 'dalam' diri AHY sendiri. Sifatnya masih "kemungkinan" karena tidak dilakukan penelitian mendalam. Sejatinya, layaknya pendekatan etnografis, si Pengamat "menjadi AHY" dengan cara menjalin interaksi erat dan intensif. Langkah-langkah "deep interview" sebagai bagian penting pengamat untuk "menjadi AHY" dan kemudian mengetahui dan memahami arah politik AHY yang sesungguhnya.
Sebagai contoh; Seorang anak tampak menangis di tepi lapangan pertandingan. Secara umum, berdasarkan data-data pengamatan diluar arena bahwa si Anak menangis karena Kalah bertanding. Dilihat dari dimensi menangisnya, si Anak merasa gagal dan menyesal. Dilihat dari kronologis dan skor pertandingan si Anak banyak melakukan blunder dan tak maksimal menjalani pertandingan.
Padahal bila saja pendekatan etnografis (dengan deep interviwe), semua itu salah besar. Ternyata terungkap bahwa si Anak menangis karena dia sangat menikmati pertandingan itu. Dia sangat menyenangi permainan lawan-lawannya dan ingin selalu dekat dengan mereka walau tak lagi bertanding, namun besok dia diharuskan pulang cepat sesuai ketetetapn tim official. Bila sudah kalah, tak perlu menunggu sampai final, segera pulang pakai bisa pagi-pagi. Hadeuuh...!
Bagaimana dengan AHY?
Sebagai manusia biasa, saat ini AHY sedang berkelahi dengan dirinya sendiri. Diluar dirinya begitu banyak pilihan yang datang menyodorkan diri. Semua menawarkan yang terbaik menurut versi mereka, bukan versi AHY. Tawaran itu saling berperang satu sama lain menjadi sebuah hiruk-pikuk tersendiri. Menjadikan seorang AHY teralienasi dari masalah sebenarnya.
Sementara di dalam dirinya sendiri peperangan batin tak kalah hebatnya. Dia ingin menjalani dan melakukan sesuatu seturut kata hati, kepribadian, pemikiran besar dan segala kediriannya, tapi begitu sulit baginya mengartikulasikannya secara verbal.
Kenapa demikian?
Karena tidak ada ruang dialog bagi dirinya yang bisa menjadi media komunikasi verbal tersebut. Ruang dirinya adalah kosmologi bagi dirinya, tak ada orang yang masuk dan menjadi dirinya di ruang itu untuk menjabarkan perkelahian batinnya. Dia menjadi tak terbaca secara utuh!
Ketika semua prakiraan sudah dibuat para pengamat dengan versinya masing-masing. Lalu bagaimana mengetahui keinginan politis AHY terkait kedua kompetitornya, dan keberlanjutan pilgub DKI?
Perlu adanya pendekatan etnologis pribadi (deep interview) dari orang yang berani masuk ke ruang pribadinya, tidak menjadikannya obyek semata, namun orang tersebut menjadi AHY! Masih ada cuku waktu hal itu dilakukan jelang putaran kedua Pilgub DKI.
Namun jangan heran bila ternyata terungkap bahwa AHY ingin merapat ke Ahok/Djarot bukan karena semata demi memenangkan Ahok/Djarot, namun karena jiwa ksatrianya dia ingin memutus dendam pribadi Ayahnya pada Megawati. Menghapus dendam pribadi pimpinan yang menjadi dendam partai. Dia ingin membangun persaingan politik masa depan, politik yang dipegang jiwa muda yang indpenden, ksatria, dan tangguh berlandaskan jiwa-jiwa sportivitas. Dia lakukan itu semua demi Indonesia yang lebih baik dimasa depan. Lalu, apa ambisi pribadinya sebagai mahluk politik? Dia percaya bahwa semua yang dipikirkannya itu adalah investasi politik bagi karier politiknya ke depan, bukan bagi ayah, keluarga, atau partai sekalipun!
0 Response to "BREAKING NEWS!!! AHY Merapat ke Ahok/Djarot, Anies Sandi Gigit Jari"
Posting Komentar