loading...
Kontestasi dan konstelasi politik di ibu kota semakin panas. Turun gunungnya Prabowo, Megawati dan SBY berkampanye menjelang pencoblosan, telah memberi kesan kuat betapa strategisnya merebut ibu kota Jakarta. Semua pihak sangat paham bahwa siapapun yang berhasil merebut ibu kota, maka langkah merebut RI-1, semakin mulus.
Bagi SBY, merebut ibu kota merupakan pertarungan amat strategis. SBY sangat yakin lewat penggegaman ibu kota, masa depan partainya Demokrat sekaligus dinasti kekuasaannya kembali cerah. Menjadi vakum selama dua tahun dalam mengendalikan kepemimpinan nasional, telah mengkerdilkan dan memunculkan penderitaan tersendiri bagi SBY.
Sabtu, 4 Februari 2017, di GOR Ciracas, Jakarta Timur, SBY turun gunung dengan berkampanye langsung. Dengan semangat berapi-api, SBY berorasi untuk apel siaga calon gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono. Dalam orasi tersebut, tanpa sadar SBY telah membuka strategi busuknya sekaligus motif utama mencalonkan Agus. Berikut ucapan SBY yang membuka kedoknya sendiri.
“Meskipun sekarang saya menjadi rakyat biasa, saya tetap mencintai negeri ini. Saya tidak ingin negeri kita gaduh. Jangan dibolak-balik. Saya tidak ingin negeri kita tercerai-berai”, kata SBY dalam orasinya.
Sepintas lalu tidak ada yang salah dalam ucapan SBY itu. Tetapi coba garis bawahi kata ‘gaduh’ dan ‘tercerai-berai’. Jika ditelaah lebih mendalam, maka pada kata itu terkandung pesan bahwa tersembunyi bahwa selama ini SBY sedang memainkan strategi busuk. Untuk menjegal Ahok-Djarot, SBY ikut menciptakan dan memancing kegaduhan-kegaduhan.
SBY membangun opini publik bahwa jika Ahok-Djarot menjadi pemimpin ibu kota, maka akan tercipta kondisi-kondisi yang gaduh. Jelas dalam kondisi gaduh dan tercerai-berai, rakyat kemudian mencari sosok pemersatu dan pembawa damai. Nah, pada saat itulah SBY memunculkan sosok Agus sebagai pemersatu dan sosok pembawa damai. Strategi ini sangat mengerikan karena rakyat dibuat gaduh terlebih dahulu dan dicerai-beraikan hanya demi meraih kekuasaan.
Bila ditilik ke belakang, maka indikasi kegaduhan yang dipancing dan digaungkan oleh SBY telah menjadi nyata. Ketika Ahok menyerempet Surat Al Maidah, SBY ikut memprovokasi adanya demo besar 411 dan 212. Saat itu SBY mengatakan bahwa para pemimpin harus mendengarkan aspirasi pengunjuk rasa. Karena jika tidak didengar, aksi serupa bahkan dalam jumlah lebih besar akan terus terjadi.
“Barangkali tuntutannya tidak didengar, kalau sama sekali tidak didengar, sampai lebaran kuda tetap ada demonstrasi unjuk rasa”, kata SBY di Cikeas, Bogor, Selasa 2 November 2016 lalu.
Apa artinya ucapan SBY itu? Jelas SBY paham bahwa Ahok yang sangat dekat dengan Jokowi. Ahok jelas tidak mudah diproses lewat hukum hanya dengan sebaris ucapannya yang menyerempet Al-Maidah. Akan tetapi SBY paham bahwa lewat kegaduhan yakni demo-demo sampai lebaran kuda, maka penegak hukum dan Jokowi sendiri akan dipaksa untuk memproses Ahok, menetapkannya tersangka dan memenjarakannya. Jika Ahok akhirnya tersangka, selain memuluskan jalan Agus, juga dijadikan alasan jitu dalam kampanye agar memilih Agus.
Ketika di benak publik tertanam bahwa ada banyak kegaduhan jika Ahok yang menjadi gubernur, maka publik akan mencari sosok gubernur pembawa damai, pembawa kesejukan dan tidak membuat kegaduhan berupa penggusuran-penggusuran. Dan itu jelas ada dalam sosok Agus. Agus akan diorbitkan sebagai sosok pemimpin yang tidak menggusur, pemimpin yang akan mengalirkan uang 1 miliar untuk RW, 30 juta untuk setiap pengusaha dan 5 juta untuk setiap keluarga.
Tak heran dalam setiap kampanyenya Agus selalu mengatakan bahwa ia tidak menggusur. Ia akan selalu mencintai rakyat. Mengapa? Karena jika menggusur, maka akan tercipta kegaduhan-kegaduhan. Saking menghindari penggusuran yang pasti membuat gaduh, Agus melontarkan ide rumah apung. Namun setelah ide rumah apung mentok, Agus melontarkan ide baru ‘menggeser’ sedikit posisi rumah dari tepi sungai. Memilukan.
Saya semakin paham mengapa selama sepuluh tahun SBY memerintah, ia terus melontarkan filosofi seribu sahabat dan nol musuh berhadapan dengan negara lain. Akibatnya Indonesia dipandang remeh oleh Malaysia dan dikencingi Singapura. Demi menghindari kegaduhan, maka di dalam negeri, SBY tidak berani menghilangkan subsidi BBM, tidak berani membubarkan Petral, membekukan PSSI, menghantam para maling, koruptor, mafia pangan dan minyak dan memberantas keras peredaran Narkoba dan menghukum para pembakar hutan.
SBY juga tidak berani menekan Fauzi Bowo, kader Demokrat, untuk mengatasi secara cepat banjir di Jakarta dengan menggusur rumah-rumah di bantaran sungai. Lalu mengeruk dan memperlebarnya. Pun SBY tidak berani membubarkan ormas-ormas sangar dan malah terkesan memelihara mereka. Alasannya untuk menghindari kegaduhan-kegaduhan. Akibatnya selama 10 tahun SBY memerintah, Indonesia auto-pilot. SBY malah produktik melahirkan beberapa album. Mengerikan.
Strategi agar rakyat merindukan SBY pembawa damai, maka selama ini dia terus melantunkan ciutan di Twitter bahwa pemerintahan Jokowi dipenuhi kegaduhan-kegaduhan. SBY pun memberi kesan bahwa sekarang negara sedang kacau-balau, para pemfitnah merajela dan berkuasa. Dan setelah itu semua dipecaya publik, maka SBY memunculkan wajah Agus, sosok wajah pembawa damai, penghindar kegaduhan dan penggusuran.Lalu SBY akan berorasi seperti yang ia lakukan saat berkampanye di Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu kemarin.
“Saya tidak ingin pemimpin-pemimpinnya tidak amanah dan mencintai rakyatnya sendiri. Hati saudara bisa saya baca. Kita ingin berjuang secara baik seraya memohon pertolongan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, Jakarta berubah ke arah yang lebih baik dengan hadirinya Agus-Sylvi sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta”, tutur SBY.
Jika Agus kalah dalam Pilkada DKI, warga Jakarta sama sekali tidak rugi. Lalu bagaimana seandainya Agus berhasil memenangkan DKI-1? SBY jelas beruntung. Ia kemudian akan membidik RI-1. Caranya Agus akan memberi contoh hebat di DKI. Di sana Agus diminta untuk tidak melakukan penggusuran, bekerja sama dengan DPRD yang sudah haus membegal APBD, terus mengalirkan uang tunai untuk membantu rakyat miskin dan membiarkan semuanya auto-pilot. Yang penting aman dan tidak gaduh.
Sementara itu menjelang Pilpres 2019, SBY akan membuat lagi kegaduhan-kegaduhan di istana. Caranya melontarkan isu bahwa ada unsur dalam pemerintahan Jokowi yang ingin mengambil alih kekuasaan, ada orang yang menghalangi Jokowi untuk bertemu dengan dirinya, ada pihak lain yang melakukan penyadapan dan seterusnya. Isu-isu PKI juga dibiarkan berkembang tanpa dibantah atau dilawan oleh SBY agar semakin membuat kegaduhan.
Cuitan-cuitan SBY di Twitterpun akan semakin garang membangun opini publik bahwa pemerintah Jokowi dipenuhi kegaduhan-kegaduhan. Dan pada saatnya, SBY kembali memunculkan Agus puteranya, sebagai sosok pembawa damai dan pemersatu bangsa. Dan pada saat itu Agus atau ia sendiri akan maju sebagai calon Presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Mantap.
Nah, jika strategi Agus dan SBY dalam membangun negeri ini terus menghindari kegaduhan alias tidak berani bertindak tegas, bagaimana nasib Jakarta selama lima tahun ke depan? Bisa dipastikan Jakarta akan kembali menjadi kota rimba yang dipenuhi oleh para serigala berwajah manusia. Jika demikian alunannya, maka SBY akan berbisik lirih kepada Ma’ruf Amin lewat Twitter: “Bpk Ma’ruf Amin, senior saya, mohon sabar & tegar. Jika kita dimata-matai, sasarannya bukan Bpk. Kita percaya Allah Maha Adil *SBY*. Ah, kura-kura bingung lagi, panas dan gaduh lagi.
Salam Seword,
0 Response to "Saat Kampanye, SBY Ungkap Strategi Busuknya Memenangkan Agus"
Posting Komentar