loading...
Jujur saja, saya gemes sehingga harus rela menunda riset demi tulisan yang sedang digarap hanya karena ingin menulis ini.
Begini, primordialisme atas dasar agama itu sah-sah saja sebetulnya dalam memilih calon pemimpin di ranah politik. Seseorang memilih si A sebagai calon pemimpin karena seagama dengannya, itu hak yang konstitusional. Tapi manakala menjanjikan surga demi mengarahkan pilihan dalam berpolitik, ini jelas bodoh, gila dan menggelikan.
Yang menjamin seseorang pantas masuk atau tidaknya di surga, itu wilayah prerogatif Allah. Bahkan ketika seseorang merasa dirinya sudah sangat suci dan karenanya patut masuk surga, tatkala dia harus menghadap Sang Penciptanya, tetap Tuhan yang berhak menerima atau menolaknya masuk. Karenanya saya katakan, kurang ajar, lancang dan tak tahu diri orang yang menentukan pantas masuk atau tidaknya sesama ke dalam surga.
Saya katakan demikian sebab bila diumpamakan, surga adalah sebuah rumah dan Allah adalah Tuannya. Karena bukan Allah, maka kita bukanlah tuan atas rumah tersebut. Kita hanyalah orang-orang di luar, yang diundang Allah lewat surat undangan, lewat WA, lewat BBM, lewat telegram, lewat sms, lewat telepon, lewat inbox di FB, dan berbagai cara lainnya untuk bertamu ke rumah-Nya sana, (silakan berimajinasi, agama Anda masuk di katagori undangan yang mana!). Logikanya, sebagai sesama tamu, tak satupun dari kita yang pantas menentukan dan menunjuk siapa yang boleh dan siapa yang tak boleh untuk bertamu ke rumah Allah. Kalau ada yang melakukannya, saya kuatir orangnya tidak waras dan karenanya butuh semacam healing teraphy kejiwaan dari Kak Emma di kebun pisang. #ehkeceflos #grin
Etdah….
Gara-gara Ahok, Segolongan Orang “Mendadak Tidak Waras”
Faktanya ada yang melakukan hal hina tersebut. Sebagaimana Anda semua lihat di gambar-gambar pada postingan ini, saya berani bilang bahwa itu semualah bukti yang memvalidasikan keberadaan “para tamu tak tahu diri” itu. Terlalu rumit mungkin bila kita harus mencari akar terdalam penyebab lahirnya “golongan tamu jenis ini”. Yang terlihat di permukaan yang sulit terbantahkan hanyalah kemunculan mereka terjadi di sela-sela sengitnya pertarungan politik seputar Pilkada DKI Jakarta tahun ini. Terlebih karena salah satu calonnya adalah Ahok, seorang penyandang double minority sekaligus.
Etnisnya China. Agamanya Kristen. Alasan kemunculan kelompok tadi seolah makin memperoleh pembenaran tatkala ada sebuah ucapan dari Ahok yang diplintir sedemikian rupa oleh Buni Yani. Ucapan Ahok yang tadinya bernada menasihati, menjadi seolah-olah Ahok menistakan salah satu agama resmi di republik ini. Anehnya, sudah ditunjukkan versi rekaman asli tanpa edit pun, Ahok tetap dituduh menistakan. Kasusnya kini dalam penanganan pengadilan.
Tentang video Ahok tersebut, saya sendiri punya pendapat bahwa kasus ini menjadi besar akibat orang memisahkan teks/ucapan Ahok dengan konteksnya. Padahal, supaya berhasil dipahami utuh narasi yg disuguhkan sebuah studi kasus, teks harus dikombinasikan dengan konteksnya: kapan, kepada siapa, dalam rangka kegiatan apa, lalu baru diajukan untuk tujuan apa teks/ucapan itu dikatakan. Teks + konteks itu ibarat dua sisi mata uang. Hilang sebelah ya sulit didefinisikan lagi sebagai uang, pemaknaannya sudah tentu mengalami pergeseran. Demikian pun terhadap ucapan Ahok.
Terhadap ucapan/teksnya sendiri pun, penggunaan kata PAKAI dalam kalimat Ahok itu jelas mendudukkan ayat Al Maidah sebagai obyek penyerta, bukan obyek penderita apalagi sebagai subyek. Namun anehnya, bahkan orang netral sekalipun jika punya pemikiran kayak yang saya sampaikan, malah dituduh sebagai bentuk penggiringan opini untuk menyelamatkan Ahok dari jerat hukum. Ini menggelikan tapi begitulah yang saya alami selama ini.
#CuitanAddieMS
Simple saja sih sebetulnya. Coba hilangkan unsur Ahoknya, perhatikan kalimatnya saja dulu! Dengan kata lain, abaikan dulu siapa yang mengucapkan, maka akan kelihatan kalau kalimat itu tidak ada unsur maksud menistakan. Malahan itu semacam warning bagi semua orang supaya hati-hati terhadap serigala politik berjubah ulama, terhadap orang-orang yang demi syahwat berkuasanya tega memperkuda ayat-ayat suci agama.
Serigala-serigala politik seperti itulah, -(yang tega memakai ayat2 suci agama buat menjaring dukungan)-, yang seharusnya dihalangi tampil sebagai penguasa. Sebab apa? MEREKALAH PENISTA AGAMA YANG SESUNGGUHNYA. Marwah agama adalah mengajak orang menuju kesucian hidup (pribadi) dan memuliakan Allah. Politik sebaliknya, marwahnya hanya buat menjamin terpenuhinya semua hak azasi pada tataran sekular. Dalam penghayatannya, agama mempersatukan orang yang berbeda pandangan politik. Politik sebaliknya memisah-misahkan orang yang seagama sekalipun.
Maka, ketika agama dijadikan komoditas politik, marwahnya direndahkan saat itu juga. Lebih lanjut, siapa bisa menjamin bahwa saat si serigala berjubah ulama ini nanti tampil sebagai penguasa yang korup, tyran, kemaruk,agamanya tak bakal ikut keciprat dampak? Ataukah pendukung dan pemilihnya nanti “mendadak amnesia akut, buta nurani, tumpul akal” melihat citra agama sang penguasa jadi jelek? Agamis, sok suci dan alim saat berkampanye, setelah jadi penguasa jati diri bejatnya baru kelihatan. Politisi yang korupsi Dana Haji, pengadaan Al-Quran dan e-KTP, pernahkah agamanya dipersoalkan? Kenapa mendadak bisu?
Mestinya kalau mengikuti alur berpikir konsisten, harus ada juga gelar “agama terkorup” apabila untuk naik jadi penguasa, seseorang memperkuda agamanya ke sana. Kenapa untuk partai politik, kita bisa menyebut partai X sebagai partai terkorup karena rata-rata yang diusung partai tersebut kesandung kasus korupsi misalnya? Agama harusnya juga bisa dong. Masalahnya, pada rela gak agama Anda diberi gelar sedemikian hanya karena ulah si serigala politik berjubah ulama tadi? Pastinya tidak rela. Jadi, bagi saya ucapan Ahok itu warning buat semua yg masih mementingkan ke-SEAGAMA-an sebagai alasan buat mendukung.
Anies dan Sandi Dijadikan “Nabi”, Tolak Sholatkan Jenazah Simpatisan Ahok, Hal Gila Apa Lagi Setelah Ini?
Hebatnya, apa yang dinasihatkan Ahok kepada warga Kepulauan Seribu tersebut malah menjadi bumerang baginya. Bahkan apa yang dia serukan dipakai berbalik menyerangnya. Double minority yang disandang, terus ucapannya yang diplintir-plintir, segera saja menjadi alasan bagi “sekelompok kaum” yang mengatasnamakan agama tertentu untuk menggiringnya ke balik pintu penjara. Edan!
#SurgaSeolahDitentukanAnies-Sandi
Bukan keberatan kaum itu terhadap Ahok untuk tampil memimpin kembali yang jadi soal. Tapi cara yang mereka pakai yang kita sesalkan. Menolak Ahok menjadi gubernur (lagi) itu sah, bahkan dilindungi UU. Namun, bila yang ditempuh adalah cara-cara biadab, kotor, inkonstitusional ya itu namanya menciderai demokrasi. Wajib ditentang dan harusnya tak boleh ada lagi ke depannya. Cara konstitusional menolak Ahok toh ada yakni dengan tidak memilihnya di bilik suara saat pemilihan berlangsung. Itu cara elegan, bukan? Terus, kenapa harus pakai “jubah agama” seperti yang anda saksikan di gambar-gambar berikut:
Spanduk-spanduk provokatif dan pembodohan itu seakan belum maksimal melukai nurani mereka yang memilih berbeda pilihan politik. Seperti yang anda lihat di gambar pertama di atas, yang saya comot dari lini massa seseorang yang rupanya pendukung Anies-Sandi, beredar pula di jagad maya ungkapan-ungkapan yang seolah Anies-Sandi menentukan seseorang masuk atau tidak ke dalam surga.
Dalam kajian ilmu agama, orang yang dipakai Tuhan untuk mengarahkan sesama menuju surga umumnya disebut sebagai nabi. Nah, kalau ada tulisan, meme dan berbagai postingan di medsos berbunyi kurang lebih sama seperti pada gambar pertama di atas, tidakkah Anies dan Sandi pantas dilihat sebagai nabi?
Anies dan Sandi itu muslim. Di antara keduanya Anies belum melaksanakan rukun ke-5 Islam yakni naik haji. Terus sekarang diposisikan seolah menjadi nabi oleh para pendukungnya? Tidakkah ini penghinaan luar biasa terhadap Islam, agama Anies dan Sandi, yang percaya bahwa nabi terakhir adalah Muhammad, SAW?
Menteri Agama dan Jajarannya Mengapa Diam?
Ahmadiyah sering kali diserang karena penolakan mereka terhadap Nabi Muhammad, SAW sebagai nabi terakhir. Sebagaimana Anda sekalian bisa baca di sini, Ahmadiyah percaya bahwa Nabi mereka adalah Mirza Gulam Ahmad (1835-1908) dari Qadian, India . Ajaran ini bertentangan dengan Islam mainstream yang berlaku di Indonesia. Karena itu, pada tanggal 9 Juni 2008, Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Dan sekarang, Anies (dan Sandi) diposisikan oleh pendukungnya seolah menjadi nabi yang menentukan masuk tidaknya seseorang ke dalam surga, sikap Menteri Agama malah terkesan diam. Ahmadiyah dilarang, terus yang provokasi lewat postingan-postingan di medsos dan spanduk-spanduk SARA di beberapa titik di DKI kenapa tidak diapa-apakan? Apakah karena di Kabupaten Sulu sana, mayoritas warganya muslim, malah memiliki kepala daerah yang nonmuslim yang ironisnya, diusung oleh partai-partai agamis (Islam)?
Hemat saya, sudah saatnya Menteri Agama menunjukkan bersikap. Tegas bila perlu. Caranya? Bikinkan semacam Permen, lalu berdayakan segenap penyuluh agama di lingkungannya untuk menyosialisasikan aturan tersebut. Mari bersinergi menghentikan penghinaan luar biasa terhadap Tuhan yang dilakukan mereka yang demi alasan politis tega merampok wilayah prerogatif Tuhan.
Salam!
Begitulah gara-gara…..
Selengkapnya: https://seword.com/sosbud/anies-sandi-dijadikan-nabi-menteri-agama-ke-mana/
0 Response to "Anies-Sandi Dijadikan “Nabi”, Menteri Agama Impoten Dan Mandul !!!"
Posting Komentar