loading...
Jarang mendapat sorotan media, Walikota Bekasi Rahmat Effendi unjuk gigi dalam hal menjaga toleransi di kota yang dipimpinnya. Pada Kamis lalu beliau berkesempatan berbicara di Kongres Nasional Kebebasan beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Dia mengatakan dirinya berkomitmen seluruh warga Bekasi mendapatkan hak yang sama dalam beragama dan berkeyakinan.
Menurutnya, kota Bekasi memiliki daya tarik tersendiri karena masyarakatnya yang memiliki latar belakang yang berbeda sehingga keberagaman yang ada harus selalu dijaga sebagai salah satu aset dalam pembangunan. “Bekasi adalah kota yang heterogen, tentunya memiliki daya tarik tersendiri. Laju pertumbuhan Bekasi pun menjadi cukup baik. Keberagaman dan kearifan lokal adalah aset untuk membangun suatu daerah,” katanya.
“Merangkul semua kepercayaan adalah penting untuk membangun kota Bekasi,” kata dia.
Yang menarik di sini adalah ketika dia bercerita mengenai saat terjadinya penolakan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terkait pembangunan Gereja Katolik Santa Clara. Saat itu dengan tegas dia menolak untuk mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bangunan itu. Kelompok itu menuding pembangunan gereja Santa Clara merupakan salah satu bentuk kristenisasi di kota Bekasi.
Sebenarnya, jujur, saya pun bingung kenapa banyak sekali kasus model begini, ada bangunan ibadah dihalang-halangi, bahkan ada yang melakukan pemaksaan untuk ditutup. Bahkan ada beberapa vihara yang juga mendapat perlakuan sama.
Intoleransi seperti ini sebenarnya sudah terjadi dari dulu, namun baru sekarang ini menjadi perhatian publik dan beberapa di antaranya menjadi viral seperti kasus Sabuga Bandung atau perusakan belasan kelenteng dan vihara di Tanjung Balai, Sumatera Utara hanya karena konflik dengan satu orang.
Karena banyak kasus intoleransi, sepak terjang Walikota Bekasi ini sungguh luar biasa dan patut diapresiasi. “Saya menolak dengan tegas saat itu. Saya bilang di depan mereka, lebih baik kepala saya ditembak daripada saya harus mencabut IMB gereja itu. IMB itu sudah sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Rahmat.
Kalau sudah sesuai hukum, kenapa harus ada pemaksaan dan penolakan dengan dalih yang dikait-kaitkan dengan agama? Bukankah seharusnya agama jangan dikait-kaitkan dengan hukum. Bagi kaum intoleran, sah secara hukum mungkin tidak ada nilainya di mata mereka. Bagi mereka hukum selalu harus tunduk pada perisai agama. Sah secara hukum, tapi mereka tidak suka, maka mereka bisa seenaknya melakukan pemaksaan dan penolakan? Enak sekali, ini juga yang menurut saya akhir-akhir ini sering terjadi pengerahan massa dengan tujuan intimidasi dan pemaksaan. Massa yang ramai dan banyak dijadikan alat supaya lawan gentar dan dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang terkadang tidak waras.
Rahmat ingin Bekasi menjadi kota yang toleran dan damai. Dengan demikian, pemikiran masyarakat soal mayoritas dan minoritas harus dihilangkan. “Kota Bekasi harus menjadi toleran dan damai, kota tanpa mayoritas dan minoritas,” ungkapnya.
Sungguh ucapan yang luar biasa. Mungkin bisa dijadiakn ‘Quote of the week’ sebagai bahan renungan buat kita semua terutama dan khususnya untuk kaum sebelah yang tidak mau melihat kemajemukan sebagai sesuatu yang indah. Bagi mereka kemajemukan adalah virus yang harus dihilangkan. Mereka maunya homogen (seragam) padahal negara ini salah satu negara yang sangat heterogen dalam hal agama, suku dan budaya.
Kalau semua kepala daerah memiliki pola pikir yang sama seperti beliau, sungguh luar biasa. Karena tindakannya, Rahmat Effendi menjadi salah satu dari tiga Wali Kota yang mendapat penghargaan dari Komnas HAM karena dinilai mampu menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan dan menyelesaikan masalah empat gereja yang sebelumnya ditolak oleh sebagian warga, yakni Gereja Santa Clara, Gereja Galilea, Gereja Kalamiring dan Gereja Manseng.
Bagi mereka yang berkoar-koar anti toleran, mungkin mereka harus piknik ke Bali. Tepatnya di komplek Puja Mandala di daerah Nusa Dua. Komplek ini terjadi lima tempat ibadah dari agama yang berbeda-beda, yaitu Masjid Ibnu Batutah, Gereja Katholik Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Dua dan Pura Jagatnatha.
Tuh, piknik dan jalan-jalan ke Bali dan belajar apa artinya toleransi dan kerukunan umat beragama. Jangan kerjanya cuma merusak negara ini dengan pemikiran tidak waras.
Bagaimana menurut Anda?
Selengkapnya: https://seword.com/politik/rahmat-effendi-lebih-baik-tembak-kepala-saya-daripada-cabut-imb-gereja/
0 Response to "HEBOH Pernyataan Walikota Bekasi Rahmat Effendi: Lebih Baik Tembak Kepala Saya Daripada Cabut IMB Gereja"
Posting Komentar