loading...
Jokowi menjadi presiden dimana kondisi Indonesia sedang carut marut dan bisa dikatakan berada pada titik nadir. Jokowi memang harus menerima semua konsekuensi logis dari jabatannya sebagai presiden. Jokowi harus menerima dengan lapang dada warisan pemerintah SBY karena bukan warisan harta yang diterima, namun warisan hutang, proyek mangkrak, dan radikalisme.
Beruntung Jokowi tak pernah mengungkit-ungkit hal tersebut karena ketika Jokowi memilih jabatan presiden, maka konsekuensi logisnya harus menerima apapun warisan dari pemerintahan SBY. Sikap Jokowi memang sangat kesatria. Beliau tidak menyalahkan presiden sebelumnya. Sebaliknya, Jokowi memperbaiki kekurangan dari presiden sebelumnya tanpa mengeluh dan menyalahkan.
Pendukung Jokowi pun seharusnya meneladani sikap yang ditunjukkan oleh sang idola. Pendukungnya seyogyanya tidak menyalahkan presiden SBY. Hanya saja, terkadang kita memang perlu menunjukkan hal ini kepada khalayak agar masyarakat tidak terlalu mudah menyalahkan Jokowi.
Masyarakat perlu paham bahwa meningkatnya hutang Indonesia itu terjadi pada era SBY yang digunakan untuk mensubsidi berbagai bidang dan BLT sehingga tidak menyalahkan Jokowi. Masyarakat perlu paham bahwa hutang yang di era Jokowi adalah hutang yang digunakan untuk hal yang produktif, termasuk salah satunya menyelesaikan proyek-proyek mangkrak di era SBY.
Masyarakat juga perlu memahami bahwa maraknya radikalisme saat ini adalah buah dari era pemerintahan SBY. Pemerintahan SBY yang ikut menumbuhkembangkan paham radikalisme, namun Jokowi yang terkena imbas dan harus menangkal paham radikalisme tersebut.
Pendapat ini dikemukakan oleh cendekiawan muslim, Komarudin Hidayat.Beliau menilai, maraknya radikalisme di era kepemimpinan Presiden Jokowi tidak terjadi begitu saja. Ia berpendapat, Jokowi hanya kena getah kebijakan pemerintahan SBY.
“Pak SBY itu kan Presiden yang motonya zero enemy. Dia enggak mau konflik dengan siapapun. Jadi ketika jelas ada radikalisme dan pelanggaran, dibiarkan saja,” jelas Komaruddin di acara Sarasehan Kebangsaan, dengan tema Saya Indonesia, Saya Pancasila, di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jakarta, Minggu 20 Agustus 2017.
Sikap ekstrem yang sudah ada dibiarkan. Akibatnya, menurut dia, terasa di pemerintahan Jokowi. Pemikiran ekstremisme berkembang besar.
Komarudin menganalogikannya dengan kebakaran. Jika ada yang membakar, tapi sekelilingnya membiarkan, maka api tersebut menjadi besar.
“Ada ungkapan klasik begini, kelompok minoritas radikal itu ada karena ada mayoritas yang membiarkan itu terjadi,” ucap Komaruddin.
Ketika sudah besar, persoalan radikalisme menjadi lebih sulit diatasi. Tantangan itulah yang kini dihadapi pemerintahan
Pernyataan yang sangat logis dari Komarudin Hidayat. SBY memang tidak mau berkonflik dengan siapa pun. Bukan berarti SBY cinta damai, namun semata-mata untuk melanggengkan kekuasannya. Terbukti, dengan gaya kepemimpinan SBY yang cenderung tidak mau berkonflik, membuatnya mampu berkuasa di Indonesia selama dua periode.
SBY lebih suka mendiamkan, atau menyumpal mulut pihak-pihak yang mencoba mengganggu kekuasannya. Ketika rakyat mengeluh kelaparan dan kemiskinan, SBY sumpal mulut mereka dengan BLT meskipun sumber dana BLT berasal dari hutang. Demi melanggengkan kekuasannya, SBY mensubsidi berbagai sektor seperti BBM dan listrik hanya untuk menarik suara rakya agar kembali memilihnya untuk kedua kalinya.
Ormas-ormas radikal pada era SBY dibiarkan beraksi dan melebarkan sayap. Asalkan tidak mengganggu kekuasaan, SBY tidak akan menindak mereka. SBY lebih memilih membiarkan mereka berkembang biak dibanding membatasi gerak mereka. SBY memang ingin pada eranya, kondisi masyarakat dan negara terlihat aman, tentran, damai, makmur, sejahtera, meskipun harus mengorbankan negara dengan hutang.
Warisan-warisan buruk era SBY yang sekarang harus Jokowi hadapi dengan penuh keikhlasan. Jika Jokowi mengeluh dengan warisan ini, maka lebih baik tidak usah menjadi presiden. Namun Jokowi ternyata terbukti mampu bersikap kesatria. Jokowi paham betul bahwa apa yang dipilihnya itu penuh dengan resiko. Jokowi sudah siap menerima resiko tersebut. Ketika di era SBY radikalisme dibiarkan, di era Jokowi geraknya menjadi terbatas. Perppu Ormas menjadi menjadi bukti perlawanan Jokowi terhadap mereka.
Jokowi bisa dikatakan ikhlas menerima cacian dan hinaan yang datang dari orang-orang yang benci kepada dirinya maupun dari orang-orang yang tidak paham persoalan negara. Hal ini bagian dari resiko dari jabatan presiden yang dipilihnya.
Selain berkewajiban memajukan negara dan mensejahterakan rakyat, tugas seorang presiden juga harus memberikan contoh sikap yang baik terutama ketika menghadapi persoalan. Jokowi bisa dikatakan sukses dalam memberikan contoh sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang presiden. Secara sikap, Jokowi bisa dikatakan sebagai presiden ideal dimana Jokowi bisa merangkul siapapun, mendekatkan jarak antara pejabat pemerintah dengan warga, serta mampu menghargai presiden sebelumnya meskipun telah mewarisi persoalam-persoalan negara yang tidak ringan.
0 Response to "SBY Mewariskan Hutang, Proyek Mangkrak, Radikalisme, Jokowi Terima Dengan Ikhlas dan Tak Menyalahkan SBY"
Posting Komentar