loading...
Terkejut sekali penulis mendapatkan informasi bahwa Gubernur zaman now memutuskan kontrak kerja dengan PT Mata Biru dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta terhadap Terminal Parkir Elektronik (TPE), sehingga membuat tarif parkir menggila. Padahal tarif parkir telah diatur dimasa pemerintahan Gubernur zaman old. Tarif lama yang manusiawi tidak memberatkan para pengguna lapak parkir.
Miris sekali paska pemutusan kontrak dengan pengelola dari pihak swasta, lapak-lapak parkiran jalanan kembali dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab yakni preman. Sistim yang sudah diperbaiki sedemikian rupa zaman Ahok malah hancur lebur setelah kepemimpinan ditangan sang menteri pecatan.
Tetapi penulis sangat heran ada saja yang tetap mengelu-elukan pasangan pemimpin yang kemenangannya tidak dapat dihindari oleh karena kontribusi kaum-kaum intoleran yang menggunakan strategi politik berbau SARA dengan menggunakan isu Ayat dan Mayat pada saat masa kampanye beberapa waktu yang lalu.
Apalah yang hendak dikata, memang ada sebagian masyarakat masih mau bertahan untuk tetap mendukung yang telah mengecewakan segenap rakyat yang dipimpinnya. Sudah bertumpuk-tumpuk kesalahan yang dilakukan terkesan disengaja untuk memuaskan dan merealisasikan janji-janjinya terhadap tim sukses yang telah memenangkannya.
Pemimpin yang katanya santun dan berpendidikan ini lebih menghargai preman-preman jalanan yang pada masa pemerintahan sebelumnya tidak dapat berkutik untuk melangsungkan kegiatan arogan mengais rezeki. Pemimpin yang katanya taat agama ini bukan memberi bimbingan dan peluang kerja yang lebih baik dan halal. Malah membuka peluang kembali kepada para preman turun kelapangan untuk menjaga perparkiran yang ada dijalanan.
Kemungkinan kita sudah mengetahui dan merasakan bersama seperti apa pelayanan terhadap pengguna parkir oleh para preman yang diberi wewenang untuk mengelola perparkiran. Para preman ini sering memberi ketidaknyamanan dan memberikan tarif parkir sesuka hati tidak mematuhi peraturan berlaku yang telah diputuskan oleh pihak pemerintah.
Ketika kembali diberi wewenang dapat dipastikan para preman-preman tersebut merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya menurut versi mereka. Tetapi masyarakat umum yang akan berimbas merasakan sakitnya dibawah tekanan para preman ketika berada dijalanan. Paling mengerikannya lagi bahwa keamanan kenderaannya akan semakin terancam.
Sudah sering terjadi bahwa kenderaan hilang ketika diparkir dijalanan yang dikelola oleh preman. Masyarakat yang kehilangan bahkan tidak mendapatkan solusi cerdas ketika kenderaannya raib dibobol dan dilarikan oleh kelompok kriminal. Ketika kejadian kehilangan terjadi malah biasanya preman pengelola parkiran juga ikut menghilang ditelan bumi.
Berikut petikan berita yang penulis langsir dari media berita untuk dijadikan referensi :
Pemutusan Kontrak kerja sama antara PT Mata Biru dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta terhadap Terminal Parkir Elektronik (TPE) membuat tarif parkir menggila. Lapak lapak parkir jalanan kembali dikuasai preman. Sebab, para juru parkir tak lagi menggunakan TPE dalam menentukan tarif. Mereka mematok tarif semuanya, mulai dari roda dua seharga Rp5.000 sekali parkir, dan Rp10.000 untuk roda empat. Kondisi ini terjadi hampir di sejumlah kawasan Jakarta. Sekalipun di tempat itu terdapat sejumlah alat TPE, namun jukir berseragam biru enggan mematok harga ditentukan TPE. Mereka memilih memasang tarif semaunya.
Beginilah kenyataan yang terjadi bila seseorang hanya ingin memenuhi ambisi pribadi untuk mendapatkan kekuasaan bukan untuk memberikan kenyamanan masyarakat secara umum. Bukan pula untuk mensejahterakan rakyat tetapi ingin mensejahterakan kelompok-kelompoknya. Paling parah lagi kekuasaan diraih untuk memuluskan sang komandan dapat meraih kekuasaan yang lebih besar lagi.
Apakah pemimpin DKI. Jakarta saat ini ingin menghidupkan kembali kejadian-kejadian menyedihkan yang pernah dirasakan oleh masyarakat dimasa pemerintahan sebelum Jokowi dan Ahok. Jika benar kejadian kehilangan akan sering terjadi kedepannya, maka rakyat harusnya bergandengan tangan untuk bersuara dan memperjuangkan agar pemerintahan Provinsi DKI. Jakarta bertanggungjawab karena secara tidak langsung kejadian ini merupakan kesalahan besar atas kebijakan yang diputuskannya.
Tapi apalah yang hendak kita lakukan bila mandatpun dicabut secara simbolis oleh masyarakat tidak akan berdampak karena tidak segampang itu untuk menurunkan pemimpin dari kursi empuk singgasananya. Kemungkinan paling besar, kita hanya meminta dengan santun agar Pemerintahan Provinsi siap mengemban tanggungjawab atas resiko kebijakan yang akan terjadi kedepannya.
Semoga segenap masyarakat Indonesia mengambil hikmah dari kejadian yang dirasakan oleh warga ibukota Republik Indonesia saat ini. Jangan sampai salah memilih pemimpin ketika diberi hak untuk memilih. Apalagi tahun depan ada pagelaran kontestasi politik serentak pemilihan pemimpin daerah, pilihlah yang telah menunjukkan rekam jejak terbaik jangan menggunakan tolak ukur hanya berdasarkan identitas semata.
Begitulah Kira-Kira,
0 Response to "Ahok Perbaiki Sistim Perparkiran, Anies Merusak, Akhirnya Preman Kuasai Parkiran"
Posting Komentar