loading...

PBNU Merestui Ahok Jadi Gubernur DKI

loading...






Selama ini sikap PBNU pada non-Muslim yang ingin jadi Gubernur tidak pernah berubah: boleh.

Sikap PBNU terkait aksi-aksi di jalan untuk menuntut Ahok: Sebaiknya tidak dilakukan, yang artinya: tidak boleh.

Terkait berbagai fatwa MUI : fatwa itu seperti pendapat keagamaan, tidak harus dilaksanakan. Yang harus ditaati dan dilaksanakan adalah undang-undang.

Pendapat seperti ini sering ditentang oleh kelompok ekstrim yang merasa keberadaannya terancam. Lalu dibuatlah seolah-olah tergelicirnya lidah Ahok ini masalah gawat darurat, menyangkut keimanan atau apalah-apalah, padahal sudah jelas: hanya masalah rebutan kekuasaan.

Mari kita lihat sikap PBNU menjelang pemilihan kedua ini:

Begini, saat persidangan Ahok ke-11 kemarin, Jaksa Agung menghadirkan saksi ahli dari PBNU, yang diwakili oleh : Miftahul Akhyar, ketua Rabithah Maahid Islamiyah NU. Ini adalah lembaga yang bertugas mengakomodir seluruh pesantren NU di Indonesia.

Ia mengatakan ucapan Ahok menista agama, tapi beliau juga bilang, bahwa ia memaafkan Ahok. Karena ia hadir dalam kapasitasnya sebagai wakil PBNU maka, sikap memaafkan juga dianggap bagian dari sikap PBNU secara keseluruhan. Apa artinya: ucapan Ahok mungkin menista agama, tapi dimaafkan. Jelas? Oke, catat!

Lalu sehari setelah itu Kyai Said selaku ketua PBNU hadir dalam acara pengukuhan pengurus DPP HANURA, beliau duduk tepat di samping Ahok atau Ahok duduk samping Kyai said. Apa ini bisa dianggap sikap PBNU? Menurut saya: Ya. (klik di sini)

Sebelumnya Kyai Said Aqil sebagai ketua PBNU pernah menegaskan bahwa perkataan Ahok dimaafkan. Lain waktu setelah polemik persidangan Ahok yang mendatangkan Kyai Ma’ruf Amin ia sempat mengatakan: “Kalau menyinggung, Orang NU nggak akan pilih”. Dan jika kemudian ia duduk di samping Ahok, ia seolah mengambil sikap mewakili PBNU: merestui Ahok untuk jadi Gubernur, tanpa ada embel-embel agama!

Segala sikap Kyai Miftahul Akhyar dan Kyai Said ini bisa ditarik kesimpulan: PBNU memaafkan Ahok, siap mendukungnya dengan catatan tidak diulangi lagi perkataan yang waktu itu menjadi polemik. Baik kalau begitu, jangan diulangi lagi kesalahan kemarin ya Pak Ahok! Hehe.

Bahwa kemudian ada pihak yang menyayangkan sikap Kyai Said dan beragumentasi kejam, yakinlah mereka inilah yang sebenarnya ingin memecah belah Islam dan NU. Mereka inilah kelompok yang selama ini menyerang ulama NU dengan segala fitnah yang bikin pusing kepala dan rasanya ingin muntah saja. Mereka yang juga ketika Kyai Ma’ruf didatangkan ke persidangan menggoreng isu, siap bergerak untuk bela agama, padahal dari NU sudah ada sikap untuk memaafkan. Mereka inilah kaum mendadak NU, hanya membela ketika ada maunya, dan memfitnah dengan berbagai macam cara.

Ahok ini bisa diibaratkan sebagai anak yang sedang dihukum guru di kelas. Anak tersebut pintar dan akan diikutkan lomba cerdas cermat mewakili sekolah. Karena mengolok-ngolok nama Bapak temannya, anak ini sudah selayaknya dihukum. Bagaimana hukumannya? Masa iya tidak boleh ikut lombas cerdas cermat? Yang benar adalah: ditegur. Kalau dia sudah menyatakan bersalah dan meminta maaf pada yang bersangkutan, maka sudah seharusnya dimaafkan. Dan ia tetap diperbolehkan mengikuti cerdas cermat.

Di depan publik, Ahok juga berkali-kali bilang ia butuh selotip ajaib. Selotip yang bisa menjaga mulutnya. Dalam acara Mata Najwa tanggal 22 Februari 2017, Ahok berterus terang bahwa mulutnya adalah musuhnya sendiri. Ia sudah terbiasa bicara terus terang dan blak-blakan. Maka untuk mengubah sifat tersebut ia berusaha mempelajari bahasa Jawa, bahasa yang mungkin dinilai lebih sopan dan lebih halus. Saya tertegun kepada sosok seperti ini, berani mengakui kesalahan, mengakui kelemahan, dan mencoba untuk memperbaiki diri.

Apakah bicara terus terang dan blak-blakan itu buruk? Tidak sama sekali!!! Saya punya teman orang China asli (bukan keturunan ya), orang Arab, Eropa, Afrika,dan Amerika. Awal saya bersosialisasi dengan mereka, saya sangat terkejut sebab mereka bicara blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Kalau ya dikatakan, ya. Tidak, ya tidak. Tidak ada perasaan merasa tidak enak.


Suatu kali saya dan beberapa teman dari Indonesia memasak penganan Indonesia: bakwan. Karena ada beberapa teman luar negeri di asrama, saya menawarkan juga pada mereka juga. Saya pikir lebih baik berbagi daripada hanya makan sendiri. Tapi setelah mencicipi, mereka mengatakan: “Maaf makanan ini tidak enak, saya tidak bisa memakannya,terimakasih”, katanya sambil ngeloyor pergi. Saya yang saat itu mahasiswa baru melongo, kalau di Indonesia ngomong seperti itu bisa-bisa dilempar panci! Hahaha.

Bagi mereka (orang luar negeri) tidak masalah perkataan itu menyinggung atau tidak, yang penting jujur! Dari pada ngomong manis di depan tapi bergosip di belakang! Yang terakhir justru yang biasanya dilakukan oleh orang Indonesia dan rata-rata orang Asia Tenggara, karena merasa tidak enak mereka akan bermanis-manis dihadapan lawan bicara, setelah itu bergunjing ria, Hehe.

Ahok bukan orang Jawa, ia keturunan Tionghoa. Ia lahir dan besar di tanah Belitung, dimana populasi keturunan Tionghoa lebih banyak. Setidaknya cara berkomunikasi mempengaruhi kepribadiannya. Selama ini belum pernah publik dikejutkan oleh berita tentang kebohongannya, yang sering diberitakan memang cara berkomuniksi secara blak-blakan, memarahi pihak yang bermasalah.

Kembali lagi pada sikap PBNU. Sudah sangat jelas bahwa PBNU tidak terlalu memusingkan ‘ketergeliciran lidah Ahok’. Kalau kinerjanya bagus, ya sudah, tidak usah bawa-bawa agama. Saya juga tidak yakin, ketika misalnya Ahok dinyatakan bersalah dan dipenjara, isu agama ini langsung hilang behitu saja. Bisa jadi, isu agama akan terus digunakan dan amunisi untuk menggulingkan pemerintahan. Dengan isu SARA bukan tidak mungkin para menteri dan Kedubes non Muslim bisa dipecat. Peluang inilah yang harus dimusnahkan oleh pemerintah. Jangan sampai seseorang yang punya uang dan jabatan dengan mudah membayar demonstran untuk teriak di jalan-jalan atau di masjid atas nama agama hanya untuk meraih kekuasaan. Setidaknya itulah yang juga dikatakan Presiden Jokowi saat berpidato diacara pengukuhan pengurus DPP partai Hanura 2016-2020, di Bogor, kemarin.

Sekali lagi saya mengajak pada teman-taman semua, sudah lah tidak usah bawa nama agama untuk mendukung atau menolak calon Gubernur. Lihatlah Menteri Jonan, yang saat ini berjuang untuk merebut Freeport dari tangan asing adalah seorang Katolik. Seorang menteri tentu saja bisa membuat aturan dan kebijakan untuk kemaslahatan rakyat. Apakah ia lantas menyudutkan atau merugikan umat Islam? tidak sama sekali! Ia bahkan terpilih menjadi menteri berturut-turut dengan jabatan berbeda sebab kinerjanya dinilai baik. Ia juga bersih dari korupsi.

Begitu juga dengan Menteri Luhut Pandjaitan. Ia beragama Kristen, menjabat sebagai Menteri Kemaritiman, berpangkat Jenderal TNI AD. Dia adalah orang yang paling berpengaruh saat nanti ada gempuran dan rongrongan via laut dari pihak asing. Ia pembuat strategi perang saat dibutuhkan. Tapi toh dia tidak pernah membuat kebijakan yang merugikan Islam. Dan banyak lagi menteri non-Muslim yang jasa nya sangat besar bagi rakyat dan negara.

Baik Ahok, Jonan, dan Luhut, posisi mereka sama. Pembuat kebijakan. Sepanjang kebijakan itu baik, maka wajib bagi kita mematuhinya. Tidak perlu membuat Gubernur tandingan segala, apalagi jika Gubernur tandingan nya ini tidak capable.

Well, saya semakin mantap bahwa NU memang layak menjadi contoh organisasi keislaman di Indonesia. Kebijakan yang pernah NU buat dan jalankan tidak pernah sekalipun untuk memecah belah bangsa, seperti yang selama ini dituduhkan oleh kaum cingkrang. NU adalah benteng terkuat Indonesia. Saya tak pernah bisa membayangkan jika sosok seperti Gusdur, Cak Nur, Gus Mus, Quraish Shihab, Habib Luthfi, Said Aqil, dan sebagainya tidak ada di negara ini, memimpin organisasi Islam terbesar. Bisa jadi negara ini seperti Mesir. Perebutan kekuasaan mulai dari badan legislatif hingga badan pemberi fatwa dirongrong kebijakannya oleh Ikhwanul Muslimin, pihak yang sangat mengingkan negara khilafah.

Gerakan Ikhwanul Muslim merengsek masuk ke Indoensia secara massif. Dan kita tidak ingin kekacauan itu terjadi juga di Indoensia. Cukup Mesir saja yang jadi korban, tidak untuk Indonesia.


0 Response to "PBNU Merestui Ahok Jadi Gubernur DKI"

Posting Komentar